city map

About Me

My Photo
Aswanto Sucahyo
Lahir di Madiun. Sistem Informasi Akuntansi tahun 2002.
View my complete profile

Blog Archive

Thursday, June 4, 2009
Ikhtilath, sebuah fenomena yang seringkali dianggap lumrah oleh banyak orang. Bercampur baurnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram, makin marak kita saksikan. Namun, tahukah anda bahwa ikhtilath merupakan sebuah bentuk pelanggaran besar ?

Dalam makna lughah (bahasa), ikhtilath berarti pencampuran atau bermakna perubahan ingatan. Namun maksud ikhtilath dalam wacana kita kali ini adalah pencampuran antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (haram dinikahi). Baik yang terjadi di jalan atau tempat-tempat lainnya.

Sedangkan menurut pakar ilmu, ikhtilath adalah pencampuran atau berdesak-desakan yang terjadi antara pria dan wanita. Sebagaimana hal ini diutarakan oleh seorang tabiin (Hanzah bin Abu Usaid Al Anshari) yang menceritakan kisah yang bersumber dari bapaknya, “Dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan para lelaki dan wanita berikhtilath (bercampur baur) di jalan.

 Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan’. Maka para wanita itu merapat di tembok/ dinding sampai baju mereka terkait di tembok karena saking rapatnya.” (Riwayat Abu Daud)

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa bercampur-baurnya (ikhtilath) antara laki-laki dan wanita di jalan itu adalah dengan berdesak-desakan atau berjalan bersama-sama, makanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan para wanita untuk berjalan di pinggir.

IKHTILATH DAN KRITERIA
Bercampurnya antara laki-laki dan wanita ada tiga kriteria :
1. Ikhtilath antara laki-laki dan wanita yang masih mahram. Hukum dari ikhtilath ini boleh

2. Ikhtilathnya laki-laki dan perempuan asing (bukan mahram) untuk tujuan maksiat. Tentang hukumnya jelas sekali yakni haram.

3. Ikhtilathnya seorang wanita dengan laki-laki asing di tempat-tempat ramai; majelis-majelis ilmu, toko, pasar, dan lainnya. Model ikhtilath ini pun semestinya dihindari atau diminimalisir. Kecuali memang dalam keadaan yang sangat mendesak/darurat.

HUKUM IKHTILATH
Pada hakekatnya, percampuran antara laki-laki dan wanita bukan mahram adalah sesuatu yang sangat besar pelarangannya. Namun kebanyakan manusia tidak menyadari atau bahkan meremehkannya. Padahal dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah mengatakan kepada para wanita untuk berjalan dipinggir jalan ketika terjadi percampuran antara laki-laki dan wanita,
“Minggirlah kamu, karena sesungguhya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan , kamu wajib berjalandi pinggir jalan.” (Riwayat Abu Daud)

Perintah beliau ditujukan kepada para wanita yang berdesakan dengan para lelaki di jalan menunjukkan terlarangnya ikhtilath.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga mengatakan,
“Sungguh jika seorang laki-laki berdesakan dengan seekor babi yang berlumuran tanah dan lumpur lebih baik baginya daripada berdesak-desakan dengan pundak wanita yang tidak halal baginya”. (Riwayat ath-Thabrani)

Pun dengan sabdanya yang lain, “Sungguh jika kepada salah satu dari kalian ditusuk dengan besi lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Riwayat ath-Thabrani)

Dari hadits-hadits tersebut menunjukkan keharaman ikhtilath. Demikian pula dengan hal-hal yang dapat menghantarkan seseorang ke dalam perbuatan ikhtilath masuk ke dalam larangan ini.

Dalam Firman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,
“ Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannnya, dan memelihara kemaluannya’. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (An Nuur: 30)

Yang terpahami dari ayat tersebut, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, memerintahkan untuk menahan pandangan dari yang diharamkan. Memandang lawan jenis yang bukan mahrim saja di larang, bagaimana halnya dengan menyentuh atau berdesak-desakan/ikhtilath dengan mereka ?? Tentunya sangat lebih tingkat pelarangannya.

Termasuk di dalam hal ini adalah berkhalwat (berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram). Rasulullah telah memperingatkannya dalam sebuah hadits, “ Tidaklah seorang pria berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali orang ketiganya adalah setan “. (Riwayat at-Tirmidzi)

BUKAN IKHTILATH
Berikut merupakan keadaan yang membolehkan seseorang untuk ikhtilath. Namun perlu dicatat bahwa ikhtilath ini hanya bersifat boleh. Yang berarti tindakan tersebut tidak harus dilakukan atau tidak lebih disukai/tidak lebih utama untuk dikerjakan. Dan perlu diingat pula ikhtilath ini dilakukan dalam rangka kebaikan dan memperoleh manfaat.

Apabila dengan ikhtilath yang dilakukan dapat menimbulkan kerusakan dan fitnah yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai kerusakan. Pun dengan sebuah kaidah ushul fiqh yang popular yang mengatakan ;
Mencegah kerusakan lebih dikedepankan daripada mendatangkan kebaikan/manfaat.

Berikut keadaaan-keadaan yang membolehkan ikhtilath ;
a. Wanita mendatangi seorang alim (ahli ilmu) untuk bertanya mengenai hukum syariat. Hal ini sebagaimana sebuah riwayat yang mengisahkan, Ada seorang Sahabiyyah Nabi mendatangi beliau dan menanyakan tentang darah istihadhah. (Riwayat al-Bukhari)

b. Wanita yang shalat (menjadi makmum) di belakang laki-laki dengan shaf tersendiri. Sahabat Anas mengatakan, “ Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang anak yatim berdiri di belakang beliau dan Ummu Sulaim di belakang kami.” (Riwayat al-Bukhari)

c. Dua pria shalih atau lebih menemui seorang wanita untuk hajat tertentu. Di dalam sebuah riwayat disebutkan Orang-orang Bani Hasyim menemui Asma binti ‘Umais (istri Abu Bakar). Kemudian Abu Bakar masuk ke rumah, maka Abu Bakar tidak menyukai dan mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam seraya mengatakan, “Aku tidak melihat sesuatu kebaikan.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Setelah hariku ini janganlah sekali-kali seorang pria menemui seorang wanita yang ditinggal pergi suaminya kecuali bersamanya ada seorang atau dua orang laki-laki.” (Riwayat Muslim)

d. Seorang pria berdiri bersama seorang wanita di jalan yang biasanya dilewati orang banyak untuk menunaikan kebutuhan wanita tersebut. Hal ini didasarkan kepada sebuah kisah yang diungkapkan oleh Anas, “ Bahwa ada seorang wanita yang akalnya kurang genap berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan denganmu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “ Wahai Ummu Fulan, carilah jalan mana yang kamu sukai sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu. Maka beliau dan wanita tersebut menyendiri diri sebuah jalan hingga wanita tersebut menyelesaikan keperluannya.” (Riwayat Muslim, Abu Daud).

“Perkataan ‘menyendiri’ yang terdapat di dalam hadits tersebut memiliki maksud, Rasulullah berdiri bersama wanita tersebut di jalan yang banyak dilewati orang, agar beliau dapat menunaikan keperluannya dalam keadaan sepi. Kondisi semacam ini tidaklah dikatakan sebagai bentuk ikhtilath dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal ini terjadi di tempat yang orang-orang biasa lewat” seperti yang diungkapkan oleh Imam An Nawawi di dalam kitabnya, syarh Muslim.

e. Wanita mengucapkan Salam kepada pria. Sebuah riwayat yang bersumber dari Abu murrah (bekas budak Ummu Hani’ binti Abu Thalib) menuturkan bahwasanya dia mendengar Ummu Hani’ berkata, “Saya pergi menemui Rsulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pada tahun Fathu Makkah, maka saya mendapati beliau sedang mandi dan fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam……..”(Riwayat Muslim, an-Nasai, Ahmad)

f. Seorang wanita yang mendatagi pria untuk suatu keperluan. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits sebelumnya (point e).

g. Seorang pria mengucapkan salam kepada wanita. Sebuah riwayat yang berasal dari Sahl mengatakan, “Maka apabila kami telah selesai shalat Jum’at, kami pulang dan mampir ke rumah seorang wanita tua kemudian kami mengucapkan salam kepadanya……” (Riwayat al-Bukhari)

Itulah kondisi-kondisi yang bisa dikategorikan bukan sebagai bentuk ikhtilath. Namun, seperti diterangkan sebelumnya apabila hal-hal tersebut dilakukan sehingga menimbulkan kerusakan dan fitnah maka tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, apabila aman dari fitnah dan mafsadah maka boleh dilakukan.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq dan inayah-Nya kepada kita sehingga kita mampu menapaki jalan kebenaran dan menjauhkan diri dari setiap larangan-Nya. Amin ( Abine Azzam)