city map

About Me

My Photo
Aswanto Sucahyo
Lahir di Madiun. Sistem Informasi Akuntansi tahun 2002.
View my complete profile

Blog Archive

Thursday, June 4, 2009
Pernahkah kita berpikir dan membayangkan bagaimana orang seusia 60 ini menilai hidupnya? Jika ada yang ia ingat tentang hidupnya, tentunya berupa suatu “kehidupan yang cepat berlalu”. Ia akan berkomentar, bahwa hidupnya tidaklah “panjang” sebagaimana impiannya ketika dulu masih di usia belasan. Mungkin tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari ia akan menjadi begitu tua renta.

Kini, ia dicekam oleh kenyataan bahwa ia telah meninggalkan enam puluh tahun di belakangnya. Ketika muda, mungkin tak pernah terfikirkan olehnya bahwa kebeliaan dengan segala gairahnya akan berlalu begitu cepat. Bila pada usia senja ia diminta bercerita tentang kisah hidupnya, niscaya kenangannya akan terangkum dalam obrolan selama lima atau enam jam saja.

Hanya itulah yang tersisa dari yang disebutnya sebagai “masa enam puluh tahun yang panjang”. Daya pikir seseorang yang melemah sesuai usia dipenuhi banyak pertanyaan. Berbagai pertanyaan ini sungguh penting untuk direnungkan, dan menjawabnya secara jujur sangat mendasar untuk memahami seluruh aspek kehidupan: “Apakah tujuan dari hidup yang berlalu begitu cepat ini? Mengapa aku harus terus bersikap positif dengan semua masalah kerentaan yang kumiliki? Apa yang akan terjadi di masa depan?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya terlebih dulu harus dibagi dalam dua kategori utama, yaitu dari orang-orang yang mengimani Allah dan dari orang-orang yang tidak mengimani-Nya.Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya terlebih dulu harus dibagi dalam dua kategori utama, yaitu dari orang-orang yang mengimani Allah dan dari orang-orang yang tidak mengimani-Nya.

Bagi mereka yang tidak percaya dan tidak mengimani Allah niscaya akan mengatakan, “Aku telah menghabiskan hidup mengejar hal yang sia-sia. Aku telah meninggalkan enam puluh tahun di belakang saya, namun sebenarnya, saya masih belum dapat memahami untuk apa sebenarnya aku hidup.

Ketika masih anak-anak, orang tua adalah pusat kehidupan saya. Saya mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dalam cinta mereka. Kemudian, sebagai seorang wanita muda, saya mengabdikan diri kepada suami dan anak-anak. Pada masa itu, saya membuat banyak cita-cita untuk diri saya. Namun ketika tercapai, semuanya seperti sesuatu yang cepat berlalu. Saat bergembira dalam keberhasilan, saya melangkah menuju cita-cita lain yang menyibukkan, sehingga saya tidak memikirkan makna hidup yang sesungguhnya. Kini pada usia enam puluh tahun, dalam ketenangan usia senja, saya mencoba menemukan apa gerangan tujuan masa lalu saya.

Apakah saya hidup untuk orang-orang yang kini hanya samar-samar saya ingat? Apakah untuk orang tua saya? untuk suami saya yang telah berpulang bertahun-tahun yang lalu? atau anak-anak yang kini jarang saya lihat karena telah memiliki keluarga masing-masing? Saya bingung. Dan satu-satunya kenyataan adalah bahwa saya merasa dekat dengan kematian. Saya akan segera meninggal dan menjadi kenangan yang redup dalam benak orang-orang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Saya benar-benar tidak tahu. Bahkan memikirkannya saja sudah menakutkan!”

Tentunya ada alasan mengapa ia begitu berputus asa. Ini semata karena ia tidak dapat memahami bahwa alam semesta, makhluk hidup dan manusia memiliki tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan harus dipenuhi dalam hidup mereka. Adanya tujuan-tujuan ini berasal dari fakta bahwa segalanya telah diciptakan.

Orang yang berakal dapat melihat hadirnya perencanaan, perancangan, dan kearifan dalam setiap detail dunia yang penuh variasi. Hal ini membawanya pada pengenalan terhadap sang Pencipta. Selanjutnya ia akan menyimpulkan bahwa, karena seluruh makhluk hidup tidaklah disebabkan oleh suatu proses acak atau tanpa sadar; mereka semua menjalankan tujuan yang penting.

Al Quran sebagai pedoman asli terakhir yang diturunkan untuk manusia, Allah berulang kali mengingatkan akan tujuan hidup kita, suatu hal yang cenderung kita lupakan, dan dengannya membimbing kita pada kejelasan pemikiran dan kesadaran.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Huud, 11: 7)

Ayat di atas memberikan pemahaman penuh akan tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman. Mereka mengetahui bahwa hidup ini adalah tempat mereka diuji dan dicoba oleh Pencipta mereka. Karenanya, mereka berharap untuk berhasil dalam ujian ini dan mencapai surga serta kesenangan yang baik dari Allah.

Akan tetapi, demi kejelasan, ada sebuah poin penting untuk dipikirkan: mereka yang mempercayai ‘keberadaan’ Allah tidak lantas memiliki keyakinan yang benar; jika mereka tidak meletakkan kepercayaan kepada Allah. Kini, banyak orang menerima bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah; namun, mereka kurang memahami dampak fakta ini terhadap hidup mereka. Karenanya, mereka tidak menjalankan hidup mereka sebagaimana yang seharusnya. Apa yang dianggap orang-orang ini sebagai kebenaran adalah, bahwa pada awalnya Allah menciptakan alam semesta ini, kemudian meninggalkannya. 

Dalam Al Quran, Allah menunjukkan kesalahpahaman ini dalam ayat berikut:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman, 31: 25)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan? (Surat az-Zukhruf: 87)

Karena kesalahpahaman ini, manusia tidak dapat menghubungkan kehidupan mereka sehari-hari dengan fakta bahwa mereka memiliki Pencipta. Itulah alasan dasar mengapa setiap manusia mengembangkan prinsip dan nilai-nilai moral pribadinya sendiri, yang terbentuk dalam budaya, komunitas, dan keluarga tertentu. Prinsip-prinsip ini sebenarnya berfungsi sebagai “petunjuk hidup” hingga datangnya kematian.

Manusia yang mentaati nilai-nilai mereka sendiri akan mendapatkan kenyamanan dalam harapan bahwa setiap tindakan yang salah akan dihukum sementara dalam neraka. Pemikiran sejenis menyimpulkan bahwa kehidupan abadi dalam surga akan mengikuti masa penyiksaan ini. Pemikiran tersebut tanpa sadar meredakan rasa takut akan hukuman yang memilukan di akhir kehidupan. Beberapa orang, di lain pihak, bahkan tidak merenungkan hal ini. Mereka sama sekali tidak memedulikan dunia selanjutnya dan “memanfaatkan hidup sebaik-baiknya”.

Bagaimanapun, hal di atas tidak benar dan kenyataannya berseberangan dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka yang berpura-pura tidak menyadari keberadaan Allah akan terjebak dalam keputusasaan yang dalam. Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan sebagai berikut: 

Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang akhirat adalah lalai. (QS. Ar-Ruum, 30: 7)

Tentulah, orang-orang ini hanya memahami sedikit saja mengenai keberadaan dan tujuan sesungguhnya dunia ini, dan mereka tidak pernah berpikir bahwa kehidupan dalam dunia ini tidaklah kekal.
Ada beberapa ungkapan yang umum dipergunakan manusia mengenai pendeknya kehidupan ini: “Manfaatkanlah hidupmu sebaik-baiknya selagi sempat”, “hidup itu pendek”, “manusia tidak hidup selamanya” adalah ungkapan yang selalu dirujuk dalam mendefinisikan sifat dasar dunia ini. Namun, ungkapan-ungkapan ini mengandung keterikatan yang terselubung kepada hidup ini, dibandingkan kepada hidup setelahnya.

Ungkapan-ungkapan tersebut mencerminkan perilaku umum manusia terhadap kehidupan dan kematian. Karena kecintaan akan hidup yang demikian besarnya, pembicaraan tentang kematian selalu diselingi dengan lelucon atau hal lain yang mengurangi keseriusan permasalahan tersebut. Selingan ini selalu memiliki tujuan, sebagai upaya sengaja untuk mereduksi permasalahan penting tersebut menjadi hal yang remeh.